daftar isi blog

Rabu, 30 Januari 2013

Angkringan (berasal dari bahasa Jawa ' Angkring ' yang berarti duduk santai) adalah sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung hik ("hidangan istimewa a la kampung") atau wedangan. Gerobag angkringan biasa ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar 8 orang pembeli. Beroperasi mulai sore hari, ia mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir, dan juga dibantu oleh terangnya lampu jalan.
Makanan yang dijual meliputi nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telur puyuh, keripik dan lain-lain. Minuman yang dijualpun beraneka macam seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu. Semua dijual dengan harga yang sangat terjangkau.
Meski harganya murah, namun konsumen warung ini sangat bervariasi. Mulai dari tukang becak, tukang bangunan, pegawai kantor, mahasiswa, seniman, bahkan hingga pejabat dan eksekutif. Antar pembeli dan penjual sering terlihat mengobrol dengan santai dalam suasana penuh kekeluargaan.
Angkringan juga terkenal sebagai tempat yang egaliter karena bervariasinya pembeli yang datang tanpa membeda-bedakan strata sosial atau SARA. Mereka menikmati makanan sambil bebas mengobrol hingga larut malam meskipun tak saling kenal tentang berbagai hal atau kadang berdiskusi tentang topik-topik yang serius. Harganya yang murah dan tempatnya yang santai membuat angkringan sangat populer di tengah kota sebagai tempat persinggahan untuk mengusir lapar atau sekedar melepas lelah.
Akrabnya susana dalam angkringan membuat nama angkringan tak hanya merujuk kedalam tempat tetapi ke suasana, beberapa acara menadopsi kata angkringan untuk menggambarkan suasana yang akrab saling berbagi dan menjembatani perbedaan, seperti Angkringan JTF yang diadakan oleh Litbang dan juga Angkringan Ramadhan yang sering digelar di kampus-kampus menjelang buka puasa.

 @Nasi kucing
KOMPAS.com - Angkringan khas Yogyakarta sudah banyak bermunculan di Jakarta. Tak hanya orang asli Yogyakarta, tetapi juga orang-orang yang pernah menetap di Yogyakarta, akan selalu menyimpan kerinduan untuk menikmati ”nangkring” di angkringan, saat harus merantau ke Jakarta.
Di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat, Anda bisa mampir di gerobak angkringan ala Yogyakarta. Untuk menemukan angkringan ini, arahkan kendaraan Anda dari Pasar Rawa Belong menuju Pasar Palmerah. Angkringan tersebut akan berada di sisi kiri jalan.
Dengan embel-embel Sego Kucing Gunung Kidul, angkringan ini baru selepas magrib. Sesuai nama angkringan, nasi kucing sudah pasti menjadi menu utama. Lalu mengapa ”Gunung Kidul”? Memangnya ada bedanya nasi kucing di Gunung Kidul, Bantul, atau daerah lain di Yogyakarta?
”Oh sama saja. Ini disebut Gunung Kidul, soalnya saya dari Gunung Kidul,” kata Sentot sambil tertawa, pemilik angkringan tersebut saat disambangi Kompas.com, Senin (23/4/2012).
Sentot bukanlah satu-satunya pemilik angkringan tersebut. Bersama beberapa teman, mereka membuat angkringan pertama di Jalan Palmerah Barat sekitar tiga tahun lalu. Selanjutnya mereka buka lagi di dua tempat berbeda lainnya, masih di daerah Jakarta Barat.
Layaknya angkringan di Yogyakarta yang berkonsep santai untuk tempat berbincang-bincang sambil menikmati hidangan sederhana, beberapa pengunjung biasa mengajak Sentot dan teman-temannya mengobrol. Bahkan, Sentot pun akhirnya punya nama beken.
”Ya itu, Sentot itu nama beken saya. Nama asli saya di kampung itu Bayu,” ungkapnya sambil tertawa.
Nasi kucing yang tersedia di angkringan ini ada nasi kucing isi teri, nasi kucing isi tempe, dan nasi kucing isi telur dadar. Sebagai pelengkap, menu-menu khas angkringan pun menjadi teman nasi kucing. Ambil sendiri lauk yang Anda inginkan. Lalu minta Sentot untuk membakarnya.
Sebut saja seperti sate usus, sate ampela, tahu dan tempe bacem, aneka gorengan, serta ayam bacem. Ini baru sebagian besar yang disebut. Jika Anda datang langsung, gerobak penuh dengan aneka lauk. Sama seperti nasi kucing, semuanya tentu dalam porsi-porsi kecil.
Berbeda dengan beberapa angkringan di Jakarta, rasa menu-menu di angkringan tersebut selintas membawa kerinduan lidah akan angkringan di Yogyakarta. Rasa legit dari lauk-lauk begitu terasa. Tak hanya lauk bacem, bahkan sate usus dan sate sosis pun begitu legit.
Semakin mantap ditemani teh poci. Walau teko yang digunakan bukan dari tanah liat melainkan teko dari kaleng, pun gelas-gelas kecilnya. Teh poci disuguhkan dengan gula batu. Jangan berharap harganya akan semurah di Yogyakarta. Ini Jakarta. Sate diberi harga Rp 2.000, sedangkan harga nasi kucing Rp 1.500.
Malam semakin larut, saat pengunjung mulai berdatangan. Tampak rapi khas busana kantoran. Tak peduli busana rapi, mereka dengan santai lesehan di tikar yang disediakan di dekat gerobak angkringan.
Menanti urainya kemacetan Jakarta, sambil menikmati nasi kucing dan teh poci. Lalu berbincang santai dengan Sentot dalam bahasa Jawa. Sejenak memori membawa diri ke Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar