Angkringan (berasal dari bahasa Jawa ' Angkring ' yang
berarti duduk santai) adalah sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai
macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas
jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung hik ("hidangan istimewa a la kampung") atau wedangan.
Gerobag angkringan biasa ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa
memuat sekitar 8 orang pembeli. Beroperasi mulai sore hari, ia
mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir, dan juga dibantu oleh terangnya lampu jalan.
Makanan yang dijual meliputi nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telur puyuh, keripik dan lain-lain. Minuman yang dijualpun beraneka macam seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu. Semua dijual dengan harga yang sangat terjangkau.
Meski harganya murah, namun konsumen warung ini sangat bervariasi.
Mulai dari tukang becak, tukang bangunan, pegawai kantor, mahasiswa,
seniman, bahkan hingga pejabat dan eksekutif. Antar pembeli dan penjual
sering terlihat mengobrol dengan santai dalam suasana penuh
kekeluargaan.
Angkringan juga terkenal sebagai tempat yang egaliter karena
bervariasinya pembeli yang datang tanpa membeda-bedakan strata sosial
atau SARA. Mereka menikmati makanan sambil bebas mengobrol hingga larut
malam meskipun tak saling kenal tentang berbagai hal atau kadang
berdiskusi tentang topik-topik yang serius. Harganya yang murah dan
tempatnya yang santai membuat angkringan sangat populer di tengah kota
sebagai tempat persinggahan untuk mengusir lapar atau sekedar melepas
lelah.
Akrabnya susana dalam angkringan membuat nama angkringan tak hanya
merujuk kedalam tempat tetapi ke suasana, beberapa acara menadopsi kata
angkringan untuk menggambarkan suasana yang akrab saling berbagi dan
menjembatani perbedaan, seperti Angkringan JTF yang diadakan oleh Litbang dan juga Angkringan Ramadhan yang sering digelar di kampus-kampus menjelang buka puasa.
@Nasi kucing
KOMPAS.com - Angkringan khas Yogyakarta sudah banyak
bermunculan di Jakarta. Tak hanya orang asli Yogyakarta, tetapi juga
orang-orang yang pernah menetap di Yogyakarta, akan selalu menyimpan
kerinduan untuk menikmati ”nangkring” di angkringan, saat harus merantau
ke Jakarta.
Di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat, Anda bisa
mampir di gerobak angkringan ala Yogyakarta. Untuk menemukan angkringan
ini, arahkan kendaraan Anda dari Pasar Rawa Belong menuju Pasar
Palmerah. Angkringan tersebut akan berada di sisi kiri jalan.
Dengan
embel-embel Sego Kucing Gunung Kidul, angkringan ini baru selepas
magrib. Sesuai nama angkringan, nasi kucing sudah pasti menjadi menu
utama. Lalu mengapa ”Gunung Kidul”? Memangnya ada bedanya nasi kucing di
Gunung Kidul, Bantul, atau daerah lain di Yogyakarta?
”Oh sama
saja. Ini disebut Gunung Kidul, soalnya saya dari Gunung Kidul,” kata
Sentot sambil tertawa, pemilik angkringan tersebut saat disambangi Kompas.com, Senin (23/4/2012).
Sentot
bukanlah satu-satunya pemilik angkringan tersebut. Bersama beberapa
teman, mereka membuat angkringan pertama di Jalan Palmerah Barat sekitar
tiga tahun lalu. Selanjutnya mereka buka lagi di dua tempat berbeda
lainnya, masih di daerah Jakarta Barat.
Layaknya angkringan di
Yogyakarta yang berkonsep santai untuk tempat berbincang-bincang sambil
menikmati hidangan sederhana, beberapa pengunjung biasa mengajak Sentot
dan teman-temannya mengobrol. Bahkan, Sentot pun akhirnya punya nama
beken.
”Ya itu, Sentot itu nama beken saya. Nama asli saya di kampung itu Bayu,” ungkapnya sambil tertawa.
Nasi
kucing yang tersedia di angkringan ini ada nasi kucing isi teri, nasi
kucing isi tempe, dan nasi kucing isi telur dadar. Sebagai pelengkap,
menu-menu khas angkringan pun menjadi teman nasi kucing. Ambil sendiri
lauk yang Anda inginkan. Lalu minta Sentot untuk membakarnya.
Sebut
saja seperti sate usus, sate ampela, tahu dan tempe bacem, aneka
gorengan, serta ayam bacem. Ini baru sebagian besar yang disebut. Jika
Anda datang langsung, gerobak penuh dengan aneka lauk. Sama seperti nasi
kucing, semuanya tentu dalam porsi-porsi kecil.
Berbeda dengan
beberapa angkringan di Jakarta, rasa menu-menu di angkringan tersebut
selintas membawa kerinduan lidah akan angkringan di Yogyakarta. Rasa
legit dari lauk-lauk begitu terasa. Tak hanya lauk bacem, bahkan sate
usus dan sate sosis pun begitu legit.
Semakin mantap ditemani teh
poci. Walau teko yang digunakan bukan dari tanah liat melainkan teko
dari kaleng, pun gelas-gelas kecilnya. Teh poci disuguhkan dengan gula
batu. Jangan berharap harganya akan semurah di Yogyakarta. Ini Jakarta.
Sate diberi harga Rp 2.000, sedangkan harga nasi kucing Rp 1.500.
Malam
semakin larut, saat pengunjung mulai berdatangan. Tampak rapi khas
busana kantoran. Tak peduli busana rapi, mereka dengan santai lesehan di
tikar yang disediakan di dekat gerobak angkringan.
Menanti
urainya kemacetan Jakarta, sambil menikmati nasi kucing dan teh poci.
Lalu berbincang santai dengan Sentot dalam bahasa Jawa. Sejenak memori
membawa diri ke Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar